Jumat, 28 Juni 2013

Natalia Melake





“Ngopi yukh!”
 PING!!!
“Jam ½ 9 yah?” akhirnya BBM ku dibalas.
“Okeh, di tempat biasa!” jawabku, melirik jam di dinding yang menunjukan waktu 5.30. 
Sahabatku Natalia Melake, bersamanya aku bisa menghabiskan banyak waktu. Kita, saling berbagi cerita bahkan derita. Saling mengingatkan bahwa ‘setiap orang punya masalah, bahkan orang yang tidak mempunyai masalah itulah masalahnya’. Pada akhirnya saling menguatkan!, kita harus lebih menghargai hidup dan bersyukur terhadap kehidupan yang kita jalani ini, karena kita masih jauh lebih beruntung dibandingkan ‘mereka’ ? ya, 

            “Anter gue yukh?”
            “kemana?” tanyaku sambil nyeruput cappuccino
            “Nanang?”
            “Gue sih Oke! lo gak cape abis pulang kerja?”
            “Enggak, gue mau ketemu dia, katanye sih dia ngamen di perapatan Atrium!” Natali meringis, riak mukanya merana, sedih!

Aku mulai mengingat nama  itu, Nanang adalah anak asuh Natali. Aku berfikir andai lebih banyak orang lagi yang sepertinya ‘dalam usia yang masih muda tapi sudah menjadi orang tua asuh dari salah satu anak jalanan’, mungkin pengamen atau bahkan peminta – minta cilik akan berkurang jumlahnya! Itu mungkin saja.

Malam memang semakin larut. Salah satu hal yang aku sukai adalah malam.  Jalanan Jakarta dimalam hari tetap ramai. Disepanjang jalan perapatan Atrium aku dan Natali mencari nanang, memastikan satu persatu anak jalanan. Akhirnya ketemu Nanang yang tengah ngamen di ketepian jalan. Sebenarnya Natali melarang Nanang untuk ngamen! Tapi orang tua dari bocah 6 tahun itu memiliki kepentingan lain, Nanang terpaksa mengamen.

Susu 1 liter yang Natali bawa langsung ditenggak tandas oleh Nanang, begitupula 1 mangkok bakso dilahap habis. Setelah itu Natalia memaksa Nanang pulang, awalnya Nanang menolak karena hasil dari mengamennya malam ini belum memenuhi target harian sebesar Rp. 50.000,- ribu rupiah, sebelum pulang Nanang melapor pada kakak laki – lakinya yang bertugas mengawasinya mengamen.

Sepanjang jalan dari Jalanan Atrium sampai rel kereta api gaplok melewati gang – gang tikus yang padat penduduk, Natalia bercerita, begitu ia sangat menyanyangi Nanang yang 1 tahun pertama kelahirnya hampir dijual oleh ibunya kepada tetangga. Nanang tetap bertahan dalam pelukan sang ibu, memasuki 2 tahun, Nanang dihonis terkena gizi buruk! Natalia bertutur bahwa ketika itu di saat Natalia masih duduk dibangku sekolah menengah atas, ia harus mencari uang untuk biaya puskesmas.  

Natalia tengah mengusahakan Nanang masuk sekoah SD tahun ini, bahkan mendaftarkan Nanang ke pelatihan Tekwondo di GOR senen. Aku tergugu melihat perjuangan Natalia, dan Nanang dengan senyuman lesung pipit dikedua pipinya itu, waktu menunjukan 10.55 ketika memasuki jalur kereta, di sepanjang pinggiran rel kereta berjajar gubuk – gubuk liar,
            “Nanang sendalnya kemana sih?” tanya Natali, aku pun heran. Pasalnya jalanan ini berbatuan bahkan beling – beling menggertak ketika terinjak! Beberapa orang meneriaki kami untuk berjaan minggir, memberi tanda aka nada kereta lewat.
            “Lo, liat deh Nat, kucing itu.” tunjukku
            “Gue rasa, kucing itu udah terbiasa dengan jalanan seperti ini, dia tahu cela mana yang dikira aman, begitupun orang – orang disekitar sini telah beradaptasi dengan lingkungan seperti ini,” Analisaku,

Setelah berjalan cukup jauh akhirnya aku, Natali dan Nanang sampai di depan sebuah ‘rumah’ yang ukurannya hanya 2 x 1 meter, 2 adik Nanang terkapar pulas. Bayi perempuan 1 tahun dan laki – laki 2 tahun. Nanang anak ke 4 dari 7 bersaudara, kaka perempuannya telah menikah 1 tahun yang lalu, kakak laki – laki nya yang pertama telah meninggal, salah satu korban mutilasi sadis yang dilakukan oleh babe, kakak laki – laki satunya lagi yang bertugas mandori Nanang ketika ngamen.

‘rumah?’ petakan yang geratis ditempati ini kecuali air dan listrik keluarga Nanang berkumpul. Sumpek pasti, kipas angin yang terus berputar rasanya tak membuat udara diruangan ini baik, Beberapa kali harus ku tahan nafas karena agak enek. Bau anyir dari luar dan sampah plastic yang terbakar.

Ibu Nanang seorang pengamen, ayahnya bekerja sebagai pemulung. Tapi Nanang
            “Harus sekolah, dan jadi orang hebat!” azam Natalia.

Mencari hikmah yang berserakkan di jalanan. Pukul 12 malam lewat beberapa menit aku pulang membawa cerita, bahwa setiap kita harus saling berbagi. Kita adalah manusia yang ketersalingan!

***

3 komentar: